PENYAKIT ZOONOTIK MELALUI PANGAN (DAGING ULAR) /FOODBORNE ZOONOSES

Pemanfaatan ular sebagai bahan makanan dan obat-obatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat mempunyai risiko sangat tinggi terhadap ancaman penularan penyakit, makalah ini mengupas tuntas masalah tersebut.

***

PENYAKIT ZOONOTIK MELALUI PANGAN (DAGING ULAR) /FOODBORNE ZOONOSES

Oleh drh. Heri Yulianto

I.    PENDAHULUAN
Globalisasi dan perdagangan bebas ternyata meningkatkan volume dan pola perdagangan. Dampak signifikan yang perlu dipertimbangkan adalah adanya peningkatan kapasitas perdagangan baik dalam volume, bentuk dan jenis komoditas, bentuk dan jenis kemasan, cara-ara masuk yang dilakukan unit perdagangan. Semakin cepatnya laju perdagangan yang semakin mengglobal juga berimbas dengan semakin besarnya resiko penyebaran  penyakit yang mungkin terjandung dalam komoditas yang dilalulintaskan. Resiko penyakit yang paling berbahaya dan sangat mengancam kesehatan manusia adalah terjadinya zoonosis yang berasal dari hewan dan produk hewan yang dilalulintaskan (Barantan 2010).

Pemanfaatan berbagai jenis reptil sebagai konsumsi makanan sudah sejak lama dilakukan. Konsumsi kura-kura dalam bentuk daging dan telur mungkin yang paling banyak dieksploitasi di seluruh dunia. Pada tahun 1835 di Kepulauan Galapagos, Charles Darwin melaporkan pertemuan pelaut Spanyol yang mengasinkan daging kura-kura raksasa untuk makanan di kapal. Saat ini terrapins, buaya, ular, iguana dan kadal masih merupakan sumber makanan penting. Peningkatan permintaan daging reptil di beberapa daerah telah mengakibatkan pengembangan program pemuliaan di lebih dari 30 negara di Amerika Utara, Tengah dan Selatan, Afrika, Asia dan Australia. Oleh karena itu, foodborne dari reptil menjadi lebih penting. Reptil bisa menjadi agen pembawa berbagai penyebab penyakit dan kontaminasi pada daging reptil tergantung pada kebersihan di mana mereka dibesarkan atau dibantai. Untuk reptil yang dipelihara di lingkungan perairan, kualitas air sangat penting. Higienis prosedur selama proses pemotongan dan pengolahan secara signifikan dapat mengurangi risiko kontaminasi makanan bagi konsumen yang mengkonsumsi daging reptil (Magnino 2009).

Reptil terutama ular sebgaian besar pemanfaatannya dalam bentuk aneka produk obat yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan atau menyembuhkan suatu penyakit. Daging, darah dan empedu reptil dipercaya mengobati penyakit kulit. Bagi kaum pria, darah ular dipercaya dapat meningkatkan stamina. Reptil juga dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bentuk aneka makanan. Pemanfaatan reptil sebagai makanan merupakan kegiatan mengkonsumsi reptil dalam bentuk aneka produk makanan yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan protein, kegiatan metabolisme dalam tubuh dan meningkatkan stamina (suplemen). Trend wisata kuliner mendorong masyarakat untuk mencoba produk makanan dari reptil (Arisnagara 2009).

Reptil yang diternakkan untuk konsumsi manusia telah banyak dilakukan di berbagai bagian dunia, termasuk buaya di Zimbabwe, Papua New Guinea, Australia dan Inggris, buaya di Amerika Utara, ular di Asia dan Amerika Utara, iguana di Amerika Tengah dan Selatan, dan kura-kura dan terrapins di Cina, Jepang dan Asia Tenggara. Peternakan ular dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda seperti koleksi bisa ular (produksi antivenom), kulit dan produksi daging. Ada beberapa laporan yang tersedia di peternakan ular komersial, misalnya di Nepal tengah, tempat ular disimpan untuk produksi racun, daging dan kulit dalam rangka memenuhi permintaan pasar internasional. Komoditas ini banyak diekspor ke Eropa dan Negara Asia dan Australia. Ular adalah disertakan dengan air dan diberi makan dengan ayam dan katak di mingguan atau bahkan interval bulanan. Peternakan Python reticulatus sangat mapan pada 20 tahun terakhir di banyak negara Asia, khususnya di Asia Tenggara untuk pemenuhan produksi kulit, daging dan makanan. Burma Piton (Python molurus bivittatus)yang diternakkan di Asia Tenggara (Vietnam) yang diimpor ke Uni Eropa (Magnino 2009).

Berbagai persepsi tentang ular terdapat pada masyarakat antara lain ular merupakan hewan berbahaya yang dapat meracuni manusia dan dapat membunuh ternak, namun ternyata ular juga dapat menguntungkan manusia karena ular merupakan pemangsa alami hama seprti tikus. Beberapa tahun belakangan ini ular memberi keuntungan bernilai komersial baik dalam kegiatan ekspor maupun dalam kegatan pemanfaatan secara tradisional. Hal ini disebabkan karena banyak orang berkeyakinan bahwa ular dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit (Situngkir 2009). Pemanfaatan ular sebagai bahan makanan maupun obat-obatan juga mempunyai efek  risiko terhadap terjadinya penularan penyakit dari ular kemanusia atau dengan kata lain terjadi risiko zoonosis. Zoonosis yang bisa ditularkan dari ular antara lain bisa disebabkan oleh parasit yang ada pada ular yaitu Spirometra, Trichinella, Gnathostoma, pentastomids. Spargonosis merupakan salah satu penyakit yang bisa ditularkan dari konsumsi ular sebagai bahan makanan (Magnino et al. 2009).

Peningkatan lalulintas reptil tersebut yang diimpor dan diekspor dari tahun ke tahun dapat menimbulkan ancaman terahadap masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK). Untuk mencegah masuk, keluar dan tersebarnya HPHK yang dibawa oleh reptil dan amfibi maka, diperlukan instalasi karantina hewan (IKH) terhadap reptil tersebut (Barantan 2008).

II.   ULAR
A. Morfologi
Satwa liar terdiri dari 48 famili, sekitar 905 genus dengan 6547 spesies. Jumlah ini terus berubah seiring dengan penemuan-penemuan baru. Reptil memiliki empat ordo, yaitu Testudinae, Squamata, Crocodylia, dan Tuatara. Ordo Squamata dibagi menjadi tiga sub ordo yaitu Sauria (kadal), Amphisbaenia, dan Serpentes (ular). Ular terdiri dari 2.389 jenis dalam 471 genus dan 11 famili (Halliday dan Adler 2000).

Ular merupakan satwa yang berdarah dingin, suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Oleh karena itu, ular sangat menyukai tempat-tempat yang hangat dan lembab. Tubuh ular memanjang dan memiliki daya adaptasi yang tingi terhadap lingkungannya. Ular mampu bertahan hidup diberbagai tipe habitat mulai dari hutan hujan, pegunungan dan padang rumput, habitat terestrial dan akuatik. Penyebarab ular meliputi seluruh habitat diseluruh bagian dunia kecuali di Antartik (Djarubito 1989).

Ular merupakan salah satu reptil yang paling sukse berkembang di dunia. Digunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian, lingkungan pemukiman sampai kelautan dapat ditemukan ular. Akan tetapi, sebagaimana umumnya hewan berdarah dingin, ular semakin jarang ditemukan pada daerah yang dingin. Sebagian besar ular merupakan jenis terestrial, tetapi terdapat beberapa jenis yang hidup di air. Jenis ular yang paling berbisa merupakan ular air yang hidup di laut. Selain itu, ada tiga jenis ular yang hidup di perairan tawar dan pepohonan (Halliday dan Adler 2000). Kelimpahan jenis reptil semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian (Primack et al. 1998). Reptil dapat hidup di dalam dan permukaan tanah, celah-celah batu, bawah puing-puing, tajuk pohon, padang rumput, gurun pasir, rawa, danau, sungai dan laut (Duellman dan Heatwolw 1998).

B. Perdagangan dan Lalu Lintas
Perdagangan ular dimulai dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen. Jalur distribusi ular dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen disebut jalur perdagangan ular. Para pemburu reptil di alam sudah mengetahui tentang perilaku dan hábitat setiap jenis ular yang diburunya. Pemburu pada umumnya adalah petani yang secara sengaja maupun tidak sengaja menangkap ular. Petani sengaja menangkap ular untuk memperoleh penghasilan tambahan ataupun sengaja karena membahayakan. Petani tidak sengaja menangkap ular karena dianggap sebagai hama pertanian (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Pemburu menjual hasil tangkapan ular kepada kolektor. Untuk kulit reptil, petani menjual kepada pedagang. Pedagang menjual kulit kepada penyamak kulit atau eksportir. Pemburu membawa produk ular seperti empedu dan ular hidup kepada pedagang. Pedagang memiliki hubungan khusus dengan pemburu atau pun penyuplai untuk menjaga kesinambungan suplai di pasar. Secara berkala pedagang mengunjungi pemburu untuk menyampaikan perkembangan pasar dan harga-harga satwa (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Pada tahun 2007 lalulintas ekspor impor maupun antar area reptil dan bahan asal hewan (reptil) sangat tinggi frekuensi dan volumenya (Tabel 1).

Tabel 1. Lalulintas reptil dan kulit reptil selama tahun 2007 (Barantan 2008)

No.
Jenis lalulintas
Reptil
Kulit Reptil
Volume
Frekuensi
Volume
Frekuensi
1
Impor
5.198
24
-
-
2
Ekspor
136.464
296
36.788,45
67
3
Domestik masuk
5.150
25
3.160
24
4
Domestik keluar
1.345.320
491
4.416
26


Perdagangan reptil dilakukan dalam jumlah yang besar dengan nilai yang sangat komersil. Direktorat Jendral PHKA, sampai tahun 1999 telah mencatat 161 spesies reptil diperdagangkan ke luar negeri. Sejumlah 54 spesies atau 33.5% diantaranya diperdagangkan dalam bentuk kulit, daging dan produk jadi. Amerika Serikat dan Eropa merupakan negara tujuan penjualan reptil sebagai hewan peliharaan. Hongkong, Cina dan Taiwan merupakan negara pengimpor utama daging reptil dan produk obat-obatan dari Indoensia (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

Perdagangan reptil sebagai hewan peliharaan mencapai puncaknya pada tahun 1990. Beberapa spesies seperti biawak air asia (Varanus salvator), ular sinduk (Naja sputatrix), ular sanca python (Python reticulatus) banyak diminati konsumen luar negeri untuk hewan peliharaan. Namun, pada tahun yang sama, trend ini menurun secara drastis dan memuncak lagi pada tahun 1997 dan 1999. Sedangkan perdagangan reptil untuk konsumsi memiliki pola yang agak berbeda. Pada tahun 1992 - 1999, perdagangan reptil untuk dikonsumsi didominasi oleh ular sinduk. Penjualan jenis ular ini mencapai 22.74% dari total penjualan seluruh spesies reptil atau 20.756 ekor per tahun (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Sedangkan ular kobra (King kobra) telah diminati sejak pertengahan tahun 1980. King kobra yang diperdagangkan mencapai 180.000 ekor per tahun berupa kulit dan 23.000 ekor berupa satwa hidup (Soehartono 1999).

Indonesia merupakan negara pengekspor reptil terbesar di dunia. Namun Indonesia mendapat catatan buruk dalam perdagangan karena kurang menerapkan prinsip kelestarian dalam pemanenan reptil dari alam. Perburuan reptil terus berlangsung sepanjang tahun. Kegiatan ini akan meningkat setelah masa tanam sampai masa panen hasil pertanian. Tingginya permintaan terhadap produk olahan reptil juga meningkatkan intensitas perburuan reptil di habitat aslinya. Eksploitasi yang tidak terkendali dapat mengancam kelestarian populasi reptil (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

C. Pemanfaatan Sebagai Obat dan Makanan
Ular telah lama dimanfaatkan masyarakat kerena memiliki nilai ekonomi yang penting. Daging dan darah ular memberi keuntungan yang tidak sedikit bagi masyarakat yang menjalankan usaha di bidang ini. Pekerjaan berburu ular di alam menjadi mata pencaharian tambahan bagi sebagian masyarakat di pedesaan (Soehartono & Mardiastuti 2003).
Ular khususnya ular kobra dipercaya untuk menyembuhkan penyakit hepatitis, asma, eksim, kudis, memelihara kekuatan seksual sampai usia lanjut. Ular kobra juga digunakan untuk menghentikan penyumbatan pada syaraf dan otot, sakit sendi pada tulang, beri-beri dan rematik. Ular sanca digunakan untuk bengkak gusi, gigi berlubang dan bernanah serta ambien bengkak. Ular weling digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mencegah dan menyembuhkan rematik dan penyakit kulit seperti kusta, koreng dan kurap. Ular tanah digunakan untuk mengobati penyakit gondok dan kejang lambung. Bagian tubuh ular yang sering digunakan sebagai obat adalah daging, darah dan empedu. Darah ular biasanya digunakan untuk mengobati alergi, gatal-gatal, diabetes, liver, jantung, sesak nafas, asam urat, pinggang, rematik, darah rendah, darah tinggi. Empedu ular bisa menjadi anti racun (anti venom) di tubuh manusia terhadap bisa ular sendiri (Nugroho et al. 1994; Haryanto 2005).

Hampir semua bagian tubuh  ular seperti daging, darah dan empedu sangat bermanfaat. Ular dipercaya dapat menyembuhkan gatal-gatal, lever, asma, diabetes, dan dapat meningkatkan keperkasaan. Daging ular diyakini dapat membuat tubuh tetap hangat. Di beberapa negara ternyata sudah banyak yang mempercayai bahwa ular memberikan manfaat yang luar biasa untuk meyembuhkan berbagai macam penyakit seperti di Ghana, gigi ular python yang dibakar hingga menjadi abu dan dicampur dengan jeruk lemon diunakan untuk mengobati anak-anak yang mengalami masalah dengan penceranaannya, dan hatinya digunakan untuk menyembuhkan kejang (Addy 2002). Di Thailand dan Taiwan ramuan ukar seperti darahnya dicampur dengan arak diminum untuk meningkatkan stamina dalam bekerja. Di Cina juga ular dimanfaatkan sebagai obat alternatif dengan membuat serum yang diolah dari bisa ular. Setelah diencerkan, serum ini dapat langsung diminum. Serum ular berkhasiat mengobati sejumlah penyakit seperti tetanus, malaria, jantung, bahkan pada tingkat tiga serum tersebut diyakini bisa menyembuhkan HIV/AIDS (Mahawar 2007).
Sebagian besar jenis reptil yang dijumpai dipedagang dalam kondisi hidup (ular) karena bagian tubuh yang dimanfaatkan berupa darah, empedu dan sumsum mengharuskan reptil dalam kondisi hidup sebelum bagian-bagian tersebut diambil untuk dimanfaatkan. Konsumen mempercayai bahwa ular kobra dapat menyembuhkan berbagai penyakit khususnya penyakit yang berhubungan dengan kulit. Menurut Haryanto (2005), ular kobra dipercaya berkhasiat meyembuhkan alergi dan penyakit yang berhubungan dengan kulit. Sedangkan jenis ular lainnya (ular lanang sapi, ular welang, ular weling, ular cincin emas, ular tanah dan ular koros) digunakan sebagai pelengkap ramuan darah ular kobra. Pemanfaatan ular kobra sebagai obat tidak hanya ditemukan di DKI Jakarta, masyarakat Jawa Tengah memanfaatkan ular kobra sebagai obat kanker, liver, stroke, penyakit kulit (gatal, eksim, alergi), sakit pernapasan, tekanan darah rendah, dan meningkatkan stamina. Situngkir (2009) juga melaporkan bahwa di Bogor, Jawa Barat ular kobra selain dimanfaatkan sebagai obat penyakit kulit (gatal-gatal) juga dimanfaatkan untuk mencegah mata cepat lelah, menetralkan racun dalam tubuh, meningkatkan stamina dan gairah seksual. Secara umum, khasiat masing-masing produk obat dari reptil yang dipercaya oleh masyarakat ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Khasiat dan penggunaan produk obat dari reptil yang diperjualbelikan di DKI Jakarta (Arisnagara 2009)
No
Jenis Ular
Produk Obat
Khasiat
Penggunaan
1
Ular Kobra, king kobra, ular sanca, ular lanang sapi, ular welang, ular weling, ular tanah, ular koros
Darah, empedu, sumsum
Menyembhkan penyakit kulit, lemah syahwat, kencing manis, liver, asma, penglihatan mata tidak jelas, jantung, tekanan darah
Diminum
2
Ular kobra
Kapsul
Menyembuhkan gatal-gatal pada tubuh, eksim, koreng, panu, kadas, kurap
Diminum
3
Ular kobra
Salep
Menyembuhkan eksim, koreng, panu, kadas, kurap
Dioleskan
4
Ular kobra
Minyak
Menghaluskan kulit, menyembuhkan luka bakar, eksim, koreng, bisul, jerawat, menghilangkan flek hitam
Dioleskan
5
Ular kobra, king kobra, ular sanca
Empedu kering
Mengurangi racun pada tubuh, menyembuhkan asma
Diminum/
Ditelan
6
Ular kobra
Tangkur kering
Meningkatkan vitalitas/gairah sex
Diminum
7
Ular kobra, ular welang
Tepung
Menambah tenaga, menyembuhkan lemah syahwat, eksim, koreng, panu, kadas, kurap, rematik, sakit pinggang
Dicampur bubur/sup

Ular juga dimanfaatkan sebagai makanan. Di DKI Jakarta, Semarang dan Surabaya banyak pedagang kaki lima yang menjual makanan dari reptil. Makanan yang dijual antara lain abon dan daging goreng ular kobra (Haryanto 2005) . Zat gizi pada makanan yang diperlukan oleh tubuh terbagi dalam enam komponen yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral dan air. Karbohidrat berfungsi sebagai sediaan energi dan penghasil panas tubuh. Lemak merupakan sumber cadangan energi. Protein berfungsi sebagai pertumbuhan, pembentukan jaringan dan pemeliharaan. Mineral seperti kalsium (Ca), fosfor (P) berfungsi sebagai pembentukan jaringan tulang dan proses metabolisme. Sedangkan air berfungsi untuk menyediakan cairan di dalam tubuh (Harper et al. 1985). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arisnagara (2009) pemanfaatan ular sebagai makanan di DKI Jakarta antara lain dalam bentuk sate, sop, daging goreng, daging goreng tepung, dan abon (Tabel 3).

Tabel 3. Khasiat, pengolahan dan penggunaan bagian-bagian ular (Situngkir 2009)

No.
Bagian ular
Khasiat
Pengolahan
Penggunaan
1
Darah
Meningkatkan stamina, mencegah mata lelah, menetralkan racun dalam tubuh
Dicampur ramuan terlebiih dahulu
Diminum
2
Empedu
Mengurangi racun pada tubuh, saraf dan menyembuhkan lumpuh
Dicampur dengan darah serta ramuan  lainnya
Diminum
3
Sumsum
Mengurangi racun dan memperkuat tulang
Dicampur dengan darah
Diminum
4
Daging
Mengurangi gatal-gatal dan meningkatkan stamina
Dicincang, sop, sate, abon
Dimakan
5
Lemak atau minyak
Menghilangkan gatal-gatal, menghilangkan bekas luka baru, dan penyakit kulit lainnya
Dijadikan salep
Dioles
6
Tangkur/kelamin
Meningkatkan gairah sex
Digoreng & dicampur sayur
Dimakan
7
Otak
Menyembhkan mata rabun dan sakit kuning, penyakit dalam seperti paru-paru
Dikukus atau dipanasi terlebh dahulu
Ditelan


D. PARASIT ZOONOTIK PADA ULAR
Daging reptil, amfibi dan ikan dapat terinfeksi berbagai parasit, termasuk trematoda (Opisthorchis spp, Clonorchis sinensis), cestodes (Diphyllobothrium spp., Spirometra), nematoda (Gnathostoma, spp., Anisakidae), dan pentastomids yang dapat menyebabkan zoonosis pada manusia yang mengkonsumsi daalam bentuk mentah atau tidak dimasak dengan benar. Pembekuan dan pengawetan daging lainnya, seperti penggaraman dapat mengurangi atau menghilangkan kemungkinan penularan jika dilakukan dengan benar. Pengasapan atau pengawetan tidak selalu efektif untuk menghilangkan larva infektif (Dorny et al. 2009). Cestoda, acanthocephalan, nematoda, lintah, pentastomids dan arthropoda sering merupakan parasit yang bisa ditemukan pada reptil, beberapa diantaranya bersifat patogen dan dapat menular ke manusia. Sparganosis dan pentastomiasis dapat menular ke manusia melalui konsumsi daging ular (Magnino et al. 2009).

1. Sparganosis
Sparganosis ditemukan pada tahun 1882 oleh Manson pada jaringan dari penduduk asli yang diutopsi di Amoy RRC. Sparganosis merupakan parasit zoonosis yang disebabkan oleh larva plerocercoid dari cacing pita Pseudophyllidea terutama yang berasal dari genus Spirometra seperti Spirometra mansoni, S. ranarum, S. mansonoides, S. erinacei. Manusia adalah host intermediate disengaja dan cacing berkembang menjadi larva yang bermigrasi ke plerocercoid jaringan dan menyebabkan peradangan lokal (Wongkulab et al. 2011). Sparganosis adalah zoonosis yang terjadi pada manusia. Penyakit ini disebabkan oleh larva migrans cacing pita Spirometra . Infeksi ini dilaporkan di banyak negara tetapi yang paling umum di Asia Timur. Migrasi terjadi di mata, jaringan subkutan, sistem saraf pusat atau organ. Infeksi diperoleh melalui minum terkontaminasi air atau makan daging ular (Dorny et al. 2009).

Pada manusia, larva ditemukan diseluruh bagian badan, terutama di mata, juga dikulit, jaringan otot, toraks, perut, paha, daerah inguinal dan dada bagian dalam. Sparganum dapat menyebar ke seluruh jaringan. Perentangan dan pengerutan larva menyebabkan peradangan dan edema jaringan sekitarnya yang nyeri. Larva yang rusak menyebabkan peradangan lokal yang dapat menjadi nekrosis. Penderita dapat menunjukkan sakit lokal, urtikaria raksasa yang timbul secara periodik, edema dan kemerahan yang disertai dengan menggigil, demam dan hipereosinofilia. Infeksi pada bola mata yang relatif sering terjadi di Asia Tenggara, menyebabkan konjungtuvitis disertai bengkak dengan lakrimasi (Gandahusada et al. 2000). Menurut Dorny et al. (2009), Sparganosis dilaporkan di seluruh dunia, terutama Asia, khususnya di Korea, Cina, Jepang, Taiwan, Vietnam, dan Thailand. Di Korea, 3 kasus pada manusia 

dilaporkan untuk pertama kalinya pada tahun 1924, tetapi lebih dari 100 kasus kemudian dilaporkan sebelum akhir era 80-an. Kasus foodborne sparganosis telah ditelusuri dari konsumsi daging ular tetapi tidak untuk buaya, kadal atau kura-kura. Plerocercoid  larva memiliki kemampuan untuk bermigrasi ke bagian manapun dari tubuh manusia termasuk otak dan rongga mulut. Analisis dari 135 kasus yang dilaporkan di Republik Korea sampai dengan tahun 1987 migrasi terjadi di perut (38 kasus, 28,1%), organ urogenital (30; 22,2%), ekstremitas (24; 17,8%), sistem saraf pusat (16, 11,9%), dada (14; 10,4%), daerah orbital (11; 8,1%) dan payudara (2; 1,5%).
Diagnosis pasti biasanya visualisasi langsung dari parasit, dan pemeriksaan patologi biopsi jaringan. Panjang larva adalah beberapa milimeter sampai satu sentimeter, berwarna putih seperti pita dan keriput. Di Thailand pernah tercatat panjang larva lebih dari 2 mm. Uji serologis dengan antibodi monoklonal IgG dengan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent (ELISA) telah dijadikan pilihan diagnosis sparganosis pada kulit dan otak (Wongkulab et al. 2010).
Masa inkubasi sparganosis tidak didefinisikan dengan baik, dan parasit diperkirakan hidup sampai 20 tahun pada host manusia. Gejala klinis sparganosis bervariasi sesuai dengan jaringan dan organ tempat bermigrasi parasit. Peradangan dan nyeri dapat berkurang setelah kematian sparganum tersebut. Ketika sparganum yang menyerang jaringan subkutan, benjolan yang terbentuk di bawah kulit dan lesi tersebut biasanya disebut sebagai "creeping tumor" karena parasit bermigrasi ke jaringan (Dorny et al. 2009)
Menurut Gandahusada et al.(2000) dalam tubuh manusia sparganum dapat mengembara di otot dan fasia akan tetapi larva ini tidak dapat menjadi dewasa. Daur hidupnya sama D. latum. Dalam hospes perantara pertama yaitu  Cyclops, dibentuk proserkoid dan dalam hospes pernatara kedua yaitu hewan pengerat kecil, ular dan kodok ditemukan pleroserkoid atau sparganum (Gambar 1 ).

Gambar 1. Siklus hidup Spirometra spp.

Parasit ini ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang, Indo-Cina, Afrika, Eropa, australia, Amerika Utara-Selatan dan Indonesia. Manusia menderita sparganosis karena minum air yang mengandung cyclops yang infektif; makan kodok, ular atau binatang yang mengandung  pleroserkoid, dan mempergunakan daging yang infektif sebagai obat. Di daerah yang endemik, air minum perlu dimasak atau disaring dan daging hospes perantara harus dimasak dengan sempurna (Gandahusada et al. 2000). Di Jepang, sashimi katak, ular, dan ayam kampung merupakan sumber utama infeksi spraganosis  pada manusia. Sekitar 500 kasus telah dilaporkan di Jepang, tetapi angka realistis tentu lebih tinggi. Dalam tubuh manusia, larva biasanya muncul di bawah kulit jaringan dada anterior, dinding perut, atau daerah inguinal dan tumbuh secara lambat membentuk lesi nodular serta bermigrasi tanpa menimbulkan rasa sakit atau kemerahan. Larva terkadang bermigrasi ke bagian tubuh yang tidak terduga, seperti rongga pleura atau CNS (Nawa et al. 2005).

Spirometra ditemukan di seluruh dunia. Infeksi di Timur Jauh disebabkan larva plerocercoid S. mansoni, di Amerika Serikat untuk S. mansonoides, di Eropa S. europaei, di Afrika S. theileri, dan di Australia S. erinacei Di antara reptil, ular merupakan host intermediate yang paling penting Sebanyak 91 % dari 1240 ular yang ditangkap antara tahun 1980 dan 1988 di Prefektur Ehime, Jepang, terinfeksi dengan S. erinacei. Dalam studi lain, S. mansoni baru ditemukan sebesar 61% dari 100 ular yang berasal dari 11 wilayah dari 13 lokasi di Korea Selatan yang diperiksa selama tahun 1981 dan 1982 (Dorny et al. 2009).

Ular juga memainkan peran paling penting sebagai sumber infeksi terjadinya sparganosis. Sebagian besar kasus sparganosis pada manusia merupakan foodborne setelah konsumsi daging ular yang kurang matang. Jumlah

plerocercoids yang dikumpulkan dari ular berkisar antara 0-427 per ular dengan rata-rata 12 (untuk Elaphe quadrivirgata), dan 0-130 dengan rata-rata 9 (untuk Rhabdophis tigrinus). Pembekuan daging ular mungkin akan menghancurkan plerocercoids, namun tidak ada data yang sesuai untuk pengobatan dan pencegahan sparganosis dari konsumsi daging ular (Dorny et al. 2009).
Pengobatan dan pencegahan dilakukan dengan bedah dan pengambilan larva merupakan treatment terbaik. Kerusakan lebih lanjut dapat dicegah ketika larva hidup dikeluarkan dari organ vital seperti otak. Melepaskan larva yang mati dan Granuloma tidak mungkin memperbaiki defisit neurologis di kasus cerebral sparganosis. Utrasonografi mungkin bisa berguna untuk diagnosis pra-operasi payudara atau organ lainnya yang mengalami sparganosis. Penggunaan obat cacing seperti mebendazol, albendazol, dan praziquantel belum terbukti bermanfaat (Wongkulab et al. 2008; Dorny et al. 2009).

2.  Pentastomiasis
Pentastomiasis, juga dikenal infestasi 'lidah cacing' atau porocephalosis, adalah parasit zoonosis yang endemik pada  Afrika Baratdan pusat. Pada 1847, tukang kebun merupakan manusia pertama yang terinfeksi oleh pentastomid di Cairo. Host definitif adalah ular dan reptil lainnya, sedangkan host intermediate adalah mamalia karnivora dan, jarang pada manusia. Sebagian besar kasus dari pentastomiasis manusia disebabkan oleh dua jenis pentastomids, keduanya memiliki karakteristik dari arthropoda dan Annelida, yaitu. Armillifer armillatus dan Linguatula serrata (Plessis et al. 2007). Pentastomids adalah seperti cacing Arthropoda, juga dikenal sebagai 'lidah cacing', berukuran 1-10 cm panjang (Dengan perempuan lebih besar dari laki-laki) yang tinggal di pharing-badak dan rongga sinus ular, buaya dan berbagai  karnivora liar atau domestik (Dorny et al. 2009). 
Siklus hidup Armillifer melibatkan transmisi antara ular (host definitif) dan mangsa mereka, yaitu tikus (host intermediate). Telur mengandung larva infektif atau nimfa adalah gudang oleh pentastomids dewasa pada saluran pernafasan atas ular, dan disebarluaskan dalam lingkungan melalui bersin, dahak atau, setelah menelan, melalui tinja. Setelah konsumsi oleh host intermediate, telur menetas di dalam usus dan melepaskan nimfa. nimfa kemudian dapat melewati dinding usus dan menyerang organ-organ perut atau dada, hati, limpa atau paru-paru. 

Manusia dapat terinfeksi pentastomids karena menelan daging mentah atau tidak cukup dimasak daging ular yang terkontaminasi dengan larva parasit, atau dengan menelan telur tertular yangmencemari karkas dari reptil yang terinfeksi, air atau makanan (Gambar 2). Pentastomiasis pada manusia biasanya disebabkan oleh spesies Armillifer (A. armillatus, A. grandis. di sub-Sahara Afrika; A. moniliformis, A. agkistrodontis di Asia) yang merupakan parasit pada ular (Dorny et al. 2009).
Pentastomids dewasa merupakan parasit pada saluran pernapasan atas ular, kadal dan reptil lainnya (host definitif). Manusia menjadi host antara dengan menelan ova atau larva yang  terkontaminasi makanan atau air. Transmisi dapat terjadi dari makan ular terinfeksi (melalui pernapasan, air liur atau kotoran). Infeksi A. armillatus kebanyakan asimtomatik pada manusia oleh karena itu biasanya ditemukan pada waktu operasi, postmortem atau dengan investigasi radiologi (Plessis  et al. 2007).

Gambar 2. Siklus hidup Armillifer armillatus

III.  PERAN BADAN KARANTINA PERTANIAN

1. Peran Karantina Pertanian Dalam Sistem Perlindungan
Berdasarkan  UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, karantina didefinisikan sebagai tempat pengasingan dan atau tindakan dalam ranga upaya pencegahan masuk dan menyebarnya hama dan penyakit untuk menjaga kelestarian  sumberdaya alam hayati hewan, ikan dan tumbuhan. Dalam UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan sebagai dasar hukum penyelenggaraan karantina diamanahkan bahwa perlunya kekayaan tanah air dan wilayah Negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam hayati untuk dijaga, dilindungi dan di pelihara kelestariannya dari ancaman dan gangguan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Ancaman kelestarian dan keamanan hayati akan menimbulkan dampak yang sangat luas pada stabilitas ekonomi, keberhasilan usaha agribisnis dan kestabilan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah menetapkan pilihan bahwa salah satu strategi didalam melidungi kelestarian sumberdata alam hayati hewan dan tumbuhan adalah melalui penyelenggaraan perkarantinaan Hewan dan Tumbuhan. Ruang lingkup objek yang berkaitan dengan karantina berkaian dengan orang, alat angkkut dalam perhubungan, hewan dan produk hewan, barang-barang perdagangan lainnya yang dilalulintaskan, diletakkan pada prinsip bahwa segala sesuati yang ditetapkan berdasarkan penilian risiko dapat ditetpakan menjadi media pembawa hama dan penyakit hewan (Barantan 2010).

Perkarantinaan diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian sumberdaya alam hayati hewan. Hal ini mengandung arti bahwa segala tindakan karantina yang dilakukan semata-mata ditujukan untuk melindungi kelestarian sumberdaya alam hayati hewani dari serangan penyakit hewan karantina. Ancaman yang secara global telah diidentifikasi dapat dikendalikan efektif melalui penyelenggaraan perkarantinaan antara lain adalah anacaman terhadap kesehatan hewan, invassive species, penyakit zoonosis, bioterorisme, pagan yang tidak sehat termasuk GMO yang belum dapat diidentifikasi keamanannya, kelestarian plasma nutfah/keanekaragaman hayati, hambatan teknis erdagangan dan ancaman terhadap kestabilan perekonomian nasional. Ancaman-ancaman tersebut dapat juga dikelola dengan baik agar tidak masuk danmenyebab kedalam negeri melalui pemeriksaaan dan sertifikasi karantina (Barantan 2010).

Penyakit hewan yang dapat menular pada reptile ke manusia antara laian adalah Salmonellosis khususnya Salmonella enteritidis. Untuk importasi reptil  harus bebas dari penyakit-penyakit sebagai berikut: Inclusion Body Disease (IBD), Ophidian Paramyxovirus (OPMV), Protozoa (Cryptosporidiasis, Cryptosporidium serpentis), Nematodes (Ascarids Ophidascaris sp), Hookworms (Kalicephalus sp), Lungworm (Rhabdias sp), Ectoparasites kutu (Ophionyssus natricis, Hyalomma, Aponomma), Pentastomids dan “ulcerative stomatitis” yang disebabkan oleh Aeromonas dan atau Pseudomonas. Penyakit-penyakit ini jika menyebar dapat berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi. Untuk mencegah masuk, keluar dan tersebarnya HPHK yang dibawa oleh reptil dan amfibi maka, diperlukan instalasi karantina hewan (IKH) terhadap reptil dan amfibi tersebut. IKH merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. IKH harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, system drainase, kelengkapan sarana dan prasarana (Barantan 2008).

Tindakan karantina merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk, tersebar, dan atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan karantina meliputi tindakan 8 P yang terdiri dari pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Tindakan karantina tersebut dilakukan oleh petugas karantina ditempat pemasukan dan atau pengeluaran, baik di dalam maupun di luar instalasi karantina.  Setiap media pembawa hama dari penyakit hewan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit bagi hewan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan, dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina  (Deptan 1992).
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut. Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa sebagaimana dilakukan secara fisik dengan cara pemeriksaan klinis pada hewan atau pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain. Pemeriksaan dapat dikukuhkan diagnosanya  dengan pemeriksaan laboratorium, patologi, uji biologis, uji diagnostika, atau teknik dan metoda pemeriksaan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi (Deptan 2000).

Tindakan pembebasan terhadap reptil dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat pelepasan setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina, atau setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi. Pembebasan terhadap reptil yang akan dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat kesehatan apabila setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina atau setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi (Deptan 2000).

Instalasi Karantina Hewan (IKH) merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. IKH harus memenuhi persyaratan teknis baik bangunan/kontruksi, peralatan maupun sarana dan prasarana dengan memperhatikan prinsip higiene dan sanitasi. IKH yang akan dipergunakan untuk reptil harus dilakukan penilaian IKH terlebih dahulu oleh tim studi kelayakan yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian. Penilaian tersebut meliputi: 1) pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen yang dipersyaratkan 2) melakukan klarifikasi dokumen, data dan informasi IKH yang diajukan oleh pihak ketiga. Bangunan dan kelengkapan IKH milik swasta harus memenuhi persyaratan teknis dan juga dilakukan evaluasi secara berkala atau penilaian kelayakan terhadap kondisi IKH tersebut dalam rangka pemeliharaan, sehingga memenuhi persyaratan teknis sesuai ketentuan yang ditetapkan. Instalasi Karantina Hewan Untuk Reptil ini disusun untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan tindakan karantina terhadap hewan dan produk hewan. Untuk mencegah masuk/tersebarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK) melalui media pembawa HPHK yang dilalulintaskan (Barantan 2010).

Peraturan Pemerintah dan kebijakan pemerintah ini ditujukan antara lain  untuk melindungi konsumen dari bahaya yang dapat mengganggu kesehatan (foodborne disease) akibat menggunakan baik untuk dipakai atau dimakan bahan makanan asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman baik masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya berasal dari kerugian-kerugian sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan asal hewan yang diproduksi. Pada saat ini ancaman yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya alam, ketentraman dan kesehatan masyarakat, kesehatan pangan, gangguan terhadap produksi sektor pertanian serta lingkungan. Dengan demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya tindakan karantina dalam menunjang kesehatan masyarakat veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan secara tidak langsung mempengaruhi aspek ekonomi serta untuk melindungi  kelestarian sumber daya alam hayati hewan (Barantan 2010).
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah suatu konvensi internasional mengenai perdagangan satwa dan tumbuhan liar. CITES bertujuan sebagai alat kontrol terhadap perdagangan tersebut. CITES berfungsi sebagai pengendali terhadap kepunahan suatu jenis. Indonesia menganggap bahwa CITES merupakan alat yang cocok dan sangat penting untuk mengontrol dan mengatur perdagangan jenis yang terancam punah. Indonesia turut serta dalam konvensi CITES sejak tahun 1978. Pengelolaan CITES di Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan sebagai Management Authority dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Scientific Authority (Soehartono & Mardiastuti 2003).

Selain CITES, status perlindungan satwa juga didasarkan pada International Union for Conservation of Nature and Natural Resources ( IUCN). IUCN merupakan organisasi internasional yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam. IUCN didirikan pada 1948 dan berpusat di Gland, Switzerland. IUCN membagi status perlindungan satwa menjadi lima kategori yakni 1) Critically Endangered atau kritis (taksa tersebut menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat), 2) Endangered atau genting (taksa tersebut tidak tergolong kritis, namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam), 3) Vulnerable atau rentan (taksa tersebut tidak tergolong kritis maupun genting, namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam), 4) Lower Risk atau resiko rendah (taksa tersebut telah dilakukan evaluasi namun tidak memenuhi untuk digolongkan ke dalam kategori kritis, genting, maupun rentan) dan 5) Data Deficient atau kurang data (informasi yang tersedia tidak mencukupi untuk melakukan perkiraan) (Dephut 2008).

Perlindungan satwa liar di Indonesia memperoleh perhatian dari pemerintah Indonesia. Bentuk perhatian pemerintah tertuang dalam naskah perundangan, peraturan tingkat nasional dan daerah. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tersebut belum menjamin perlindungan satwa liar. Perdagangan ilegal satwa liar di dalam negeri maupun perdagangan internasional masih sering terjadi. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa terdapat 31 jenis reptil (tuntong Batagur baska, penyu tempayan Caretta caretta, kura-kura irian Carettochelys insculpta, kura irian leher panjang Chelodinanovaeguineae, penyu hijau Chelonia mydas, labi-labi besar Chitra indica, soa paying Chlamydosaurus kingie, sanca hijau Chondropython viridis, buaya air tawar Irian Crocodylus novaeguineae, buaya muara Crocodylus porosus, buaya siam Crocodylus siamensis, penyu belimbing Dermochelys coriacea, kura irian leher pendek Elseya novaeguineae, penyu sisik Eretmochelys imbricate, bunglon sisir Gonychephalus dilophus, soa-soa Hydrasaurus amboinensis. penyu ridel Lepidochelys olivacea, penyu pipih Natator depressa, kura-kura gading Orlitia borneensis, sanca bodo Python molurus, sanca timor Phyton timorensis, kadal panan Tiliqua gigas, buaya sapit Tomistoma schlegelii, biawak kalimantan Varanus borneensis, biawak coklat Varanus gouldi, biawak maluku Varanus indicus, biawak komodo Varanus komodoensis, biawak abu-abu Varanus nebulosus, biawak hijau Varanus prasinus, biawak timor Varanus timorensis, biawak togian Varanus togianus) yang dilindungi (Arisnagara 2009).

2. Peran Karantina Dalam Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional diatur oleh organisasi perdagangan dunia yang disebut World Trade Organization (WTO), dalam implementasinya organsasi tersebut menerbitkan berbagai perjanjian yang berkaitan dengan pengaturan dan prosedur dibidang perdagangan internasional. Beberapa perjanjian  yang telah diterbitkan antara lain General Agreement on Traiff and Trade, Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPS), dan Agreement on Aplication of Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS). SPS-Agreement atau perjanjian SPS diberlakukan untuk mengatur tatacara perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan serta lingkungan hidupnya dalam hubungannya dengan perdagangan internasional. Kesepakatan SPS beralku dan mengikat secara global seluruh negara yang menjadi anggotanya (Barantan 2010).

Negara Indonesia merupakan salah satu negara WTO, yang telah menyepakati piagam berdirimya oganisasi tersebut dan diratifikasi melalui Undang-Undanf Nomor 7 Tahun 1994. Oleh karena itu Negara Indonesia berkewajiban memenuhi kesepakatan Internasional tersebut. Dasar hukum penyelenggaraan karantina hewan, ikan dan tumbuhan yaitu Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 dalam uraian penjelasannya telah mengamanatkan bahwa penyelanggaraan perkarantinaan merupakan wujud dari pelaksanaan kewajiban internasional. Sesuai dengan implementasi perjanjian SPS dalam perdagangan internasional maka peran Barantan adalah mengoperasionalkan persyaratan teknis (persyaratan karantina) impor yang diterapkan ditempat pemasukan dalam upaya perlindungan terhadap kesehatan manusa, hewan, tumbuhan dan lingkungan; memfasilitasi ekspor komoditas pertanian melaui pemeriksaan, audit, verifikasi dan sertifikasi karantina ekspor agar persyaratan teknis yang ditentukan negara pengimpor dapat terpenuhi; turut serta memverifikasi persyaratan teknis negara tujuan ekspor agar tetap dalam koridor perjanjian SPS; dan Barantan ditetapkan  sebagai “Notification Body” dan “National enquery Point” SPS, peran tersebut merupakan salah satu bentuk dari komunikasi persyaratan teknis (dengan organisasi internasional dan negara mitra) yang akan diberlakukan (Barantan 2010).

Fungsi utama Departemen Pertanian yang diperankan Badan Karantina Pertanian adalah berhubungan dengan menjamin tersedianya sumberdaya pertanian yang berkelanjutan dalam menjamin tersedianya suplay yang cukup, serta jaminan keamanan pangan yang berkaitan dengan kualitas suplay pangan yang sehat dan ketentraman masyarakat dalam mengkonsumsi pangan halal, melalui kegiatan pengawasan dan sertifikasi impor dan ekspor, verifikasi dan audit kesesuaian persyaratan teknis. Penetapan kawasan/area dan sertifikasi karantina antar area juga dierankan Karantina Pertanian dalam rangka memenuhi daya saing pasar internasional. Ketiga peran tersebut diatas pada prinsipnya merupakan satu kesatuan peran dari penyelenggaraan karantina pertanian dan pengawasan keamanan hayati sebagaimana tugas dan pokok Badan Karantina Pertanian. Oleh karena itu, dengan peran yang startegis tersebut maka setiap instansi terkait dan masyarakat perlu memberikan dukungan yang memadai dalam pencapaian visi, misi dan tujuan strategis Barantan (Barantan 2010).

IV. KESIMPULAN
Pemanfaatan ular sebagai bahan makanan dan obat-obatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai risiko sangat tinggi terhadap ancaman penularan penyakit zoonosis (Foodborne). Pengawasan terutama dalam pengolahan dan penggunaannya. Perdagangan dan lalu lintas reptil terutama ular harus selalu diawasi dan memperhatikan aturan yang berlaku untuk kelestarian sumberdaya alam, ketentraman dan kesehatan masyarakat, kesehatan pangan, gangguan terhadap produksi sektor pertanian serta lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Addy GC. 2002. The economic benefits of biodiversity. The Ghanaian Times. Acra.
  2. Arisnagara F. 2009.  Pemanfaatan Reptil Sebagai Obat dan Makanan Di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
  3. [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2008. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor  369.a /kpts/PD.670.210/L/10/2008 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Reptil Dan Amfibi (Herpetofauna). Jakarta : Barantan.
  4. [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2008. Laporan Tahunan Badan Karantina pertanian Tahun 2007. Jakarta : Barantan.
  5. [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2010. Rencana Strategis Badan Karantina Pertanian Tahun 2010 – 2014. Jakarta : Barantan.
  6. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan No P. 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Jakarta : Departemen Kehutanan.
  7. [Deptan] Departemen Pertanian. 1992. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Jakarta : Deptan.
  8. [Deptan] Departemen Pertanian. 2000. Pertaturqn Pemerintah Tahun 2000 tentang Karantina Hewan. Jakarta : Deptan.
  9. Dorny P, Praet N, Deckers N, Gabriel S. 2009. Emerging food-borne parasites. J Veterinary Parasitology 163 : 196–206
  10. Djarubito M. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta : Erlangga.
  11. Duellman We, Heatwole H. 1998. Di dalam : Cogger HG, RG Zweifel, editor. Encyclopedia of reptiles and Ampibians. San Fransiso : Fog City Press Ensikloped.
  12. Gandahusada S, Iiahude HD, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  13. Halliday T, Adler K. 2000. The encyclopedia of repttiles and amphibians. New York : Fact on File Inc.
  14. Haryanto S. 2005. 30 Jenis Hewan Penakluk Penyakit. Jakarta : Penebar Swadaya.
  15. Harper LJ, Deaton BJ, dan Priskel JA. 1985. Pangan dan Gizi Pertanian. Suhardjo, penerjemah ; Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : Food, Nutrition and Agriculture.
  16. Mahawar MM, Jaroli DP. 2007. Traditional knowledge on zootherapeuthic uses by the saharia Tribe of Rajasthan, India. Journal of ethnobiologi and ethnomedicine 3 : 25.
  17. Magnino S, Pierre Colin, Eduardo Dei-Cas, Mogens Madsen, Jim McLauchlin, Karsten Nöckler, Miguel Prieto Maradona, Eirini Tsigarida, Emmanuel Vanopdenbosch, Carlos Van Peteghem. 2009. Biological risks associated with consumption of reptile products. International Journal of Food Microbiology 134 : 163–175.
  18. Nawa Y, Christoph Hatz, and Johannes Blum. 2005. Sushi Delights and Parasites: The Risk of Fishborne and Foodborne Parasitic Zoonoses in Asia. Clinical Infectious Diseases 41:1297–303.
  19. Nugroho E, Whendrato I, Madyana IM dan Kusumo E. 1994. Satwa Berkhasiat Pengobatan. Semarang. Eka Offset.
  20. Plessis V, Andrew J Birnie, Ivor Eloff, Helmuth Reuter, Savvas Andronikou. 2007. Pentastomiasis (Armillifer armillatus infestation). SAMJ 97 : 928 – 930
  21. Primack, Richard B, Supriatna J, Indrawan M dan Kramadibrata P. 1998. Biology Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
  22. Situngkir SVR. 2009. Perdagangan Ular dan Pemanfaatannya Secara Tradisional Di Wilayah Bogor [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
  23. Soehartono T. 1999. Perdagangan Ular kobra (Naja naja sputataix). Di dalam : Konservasi Keanekaragaman Amfibia dan Reptilia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional ; Bogor, 4 November 199. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hlm 106-113.
  24. Soehartono T dan Mardiastuti. 2003. Pelaksanan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta. Japan International Cooperation Agency (JIC)
  25. Wongkulab P, Kom Sukontason, Romanee Chaiwarith. 2011. Sparganosis: A Brief Review. J Infect Dis Antimicrob Agents   28 : 77 – 80.    
 *********

PENTING UNTUK PETERNAKAN: