***
PENYAKIT ZOONOTIK MELALUI PANGAN (DAGING ULAR) /FOODBORNE ZOONOSES
Oleh drh. Heri
Yulianto
I. PENDAHULUAN
Globalisasi dan perdagangan bebas
ternyata meningkatkan volume dan pola perdagangan. Dampak signifikan yang perlu
dipertimbangkan adalah adanya peningkatan kapasitas perdagangan baik dalam
volume, bentuk dan jenis komoditas, bentuk dan jenis kemasan, cara-ara masuk
yang dilakukan unit perdagangan. Semakin cepatnya laju perdagangan yang semakin
mengglobal juga berimbas dengan semakin besarnya resiko penyebaran penyakit yang mungkin terjandung dalam
komoditas yang dilalulintaskan. Resiko penyakit yang paling berbahaya dan
sangat mengancam kesehatan manusia adalah terjadinya zoonosis yang berasal dari
hewan dan produk hewan yang dilalulintaskan (Barantan 2010).
Pemanfaatan berbagai jenis reptil sebagai konsumsi makanan
sudah sejak lama dilakukan. Konsumsi kura-kura dalam bentuk daging dan telur
mungkin yang paling banyak dieksploitasi di seluruh dunia. Pada tahun 1835 di
Kepulauan Galapagos, Charles Darwin melaporkan pertemuan pelaut Spanyol yang mengasinkan
daging kura-kura raksasa untuk makanan di kapal. Saat ini terrapins, buaya,
ular, iguana dan kadal masih merupakan sumber makanan penting. Peningkatan permintaan
daging reptil di beberapa daerah telah mengakibatkan
pengembangan program pemuliaan di lebih dari 30 negara di Amerika Utara, Tengah
dan Selatan, Afrika, Asia dan Australia. Oleh karena itu, foodborne dari reptil menjadi lebih penting. Reptil bisa menjadi agen pembawa
berbagai penyebab penyakit dan kontaminasi pada daging reptil tergantung pada
kebersihan di mana mereka dibesarkan atau dibantai. Untuk reptil yang dipelihara di lingkungan perairan, kualitas air
sangat penting. Higienis prosedur selama
proses pemotongan dan pengolahan secara
signifikan dapat mengurangi risiko kontaminasi makanan bagi konsumen yang mengkonsumsi
daging reptil (Magnino 2009).
Reptil terutama ular sebgaian besar
pemanfaatannya dalam bentuk aneka produk obat yang digunakan untuk mengurangi,
menghilangkan atau menyembuhkan suatu penyakit. Daging, darah dan empedu reptil
dipercaya mengobati penyakit kulit. Bagi kaum pria, darah ular dipercaya dapat
meningkatkan stamina. Reptil juga dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bentuk
aneka makanan. Pemanfaatan reptil sebagai makanan merupakan kegiatan
mengkonsumsi reptil dalam bentuk aneka produk makanan yang digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan protein, kegiatan metabolisme dalam tubuh dan meningkatkan
stamina (suplemen). Trend wisata kuliner mendorong masyarakat untuk mencoba
produk makanan dari reptil (Arisnagara 2009).
Reptil yang diternakkan untuk konsumsi manusia telah
banyak dilakukan di berbagai bagian dunia, termasuk buaya di Zimbabwe, Papua
New Guinea, Australia dan Inggris, buaya di Amerika Utara, ular di Asia dan
Amerika Utara, iguana di Amerika Tengah dan Selatan, dan kura-kura dan
terrapins di Cina, Jepang dan Asia Tenggara. Peternakan ular dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda
seperti koleksi bisa ular (produksi antivenom), kulit dan produksi daging. Ada beberapa laporan yang tersedia di peternakan ular komersial, misalnya di Nepal tengah, tempat ular disimpan untuk produksi racun, daging dan kulit dalam rangka memenuhi permintaan pasar
internasional. Komoditas ini banyak diekspor ke Eropa dan Negara
Asia
dan Australia. Ular adalah disertakan dengan air dan diberi makan dengan ayam dan katak di mingguan atau bahkan interval bulanan.
Peternakan Python reticulatus sangat mapan pada 20 tahun terakhir di banyak negara Asia, khususnya di Asia Tenggara untuk
pemenuhan produksi kulit, daging dan makanan. Burma Piton (Python molurus
bivittatus)yang diternakkan di Asia Tenggara (Vietnam)
yang diimpor ke Uni Eropa (Magnino
2009).
Berbagai persepsi tentang ular terdapat
pada masyarakat antara lain ular merupakan hewan berbahaya yang dapat meracuni
manusia dan dapat membunuh ternak, namun ternyata ular juga dapat menguntungkan
manusia karena ular merupakan pemangsa alami hama seprti tikus. Beberapa tahun
belakangan ini ular memberi keuntungan bernilai komersial baik dalam kegiatan
ekspor maupun dalam kegatan pemanfaatan secara tradisional. Hal ini disebabkan
karena banyak orang berkeyakinan bahwa ular dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit (Situngkir 2009). Pemanfaatan ular sebagai bahan makanan maupun
obat-obatan juga mempunyai efek risiko
terhadap terjadinya penularan penyakit dari ular kemanusia atau dengan kata
lain terjadi risiko zoonosis. Zoonosis yang bisa ditularkan dari ular antara
lain bisa disebabkan oleh parasit yang ada pada ular yaitu Spirometra, Trichinella, Gnathostoma, pentastomids.
Spargonosis merupakan salah satu penyakit yang bisa ditularkan dari konsumsi
ular sebagai bahan makanan (Magnino et al.
2009).
Peningkatan lalulintas reptil tersebut
yang diimpor dan diekspor dari tahun ke tahun dapat menimbulkan ancaman
terahadap masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK). Untuk
mencegah masuk, keluar dan tersebarnya HPHK yang dibawa oleh reptil dan amfibi
maka, diperlukan instalasi karantina hewan (IKH) terhadap reptil tersebut
(Barantan 2008).
II. ULAR
A. Morfologi
Satwa
liar terdiri dari 48 famili, sekitar 905 genus dengan 6547 spesies. Jumlah ini
terus berubah seiring dengan penemuan-penemuan baru. Reptil memiliki empat
ordo, yaitu Testudinae, Squamata, Crocodylia, dan Tuatara. Ordo Squamata dibagi
menjadi tiga sub ordo yaitu Sauria (kadal), Amphisbaenia, dan Serpentes (ular).
Ular terdiri dari 2.389 jenis dalam 471 genus dan 11 famili (Halliday dan Adler
2000).
Ular merupakan satwa yang berdarah
dingin, suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Oleh karena itu,
ular sangat menyukai tempat-tempat yang hangat dan lembab. Tubuh ular memanjang
dan memiliki daya adaptasi yang tingi terhadap lingkungannya. Ular mampu
bertahan hidup diberbagai tipe habitat mulai dari hutan hujan, pegunungan dan
padang rumput, habitat terestrial dan akuatik. Penyebarab ular meliputi seluruh
habitat diseluruh bagian dunia kecuali di Antartik (Djarubito 1989).
Ular merupakan salah satu reptil yang paling sukse berkembang di dunia.
Digunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian, lingkungan pemukiman
sampai kelautan dapat ditemukan ular. Akan tetapi, sebagaimana umumnya hewan
berdarah dingin, ular semakin jarang ditemukan pada daerah yang dingin. Sebagian
besar ular merupakan jenis terestrial, tetapi terdapat beberapa jenis yang
hidup di air. Jenis ular yang paling berbisa merupakan ular air yang hidup di
laut. Selain itu, ada tiga jenis ular yang hidup di perairan tawar dan
pepohonan (Halliday dan Adler 2000). Kelimpahan jenis
reptil semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian (Primack et al. 1998).
Reptil dapat hidup di dalam dan permukaan tanah, celah-celah batu, bawah
puing-puing, tajuk pohon, padang rumput, gurun pasir, rawa, danau, sungai dan
laut (Duellman dan Heatwolw 1998).
B. Perdagangan
dan Lalu Lintas
Perdagangan
ular dimulai dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen. Jalur distribusi
ular dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen disebut jalur perdagangan
ular. Para pemburu reptil di alam sudah mengetahui tentang perilaku dan hábitat
setiap jenis ular yang diburunya. Pemburu pada umumnya adalah petani yang
secara sengaja maupun tidak sengaja menangkap ular. Petani sengaja menangkap
ular untuk memperoleh penghasilan tambahan ataupun sengaja karena membahayakan.
Petani tidak sengaja menangkap ular karena dianggap sebagai hama pertanian
(Soehartono dan Mardiastuti 2003). Pemburu menjual hasil tangkapan ular kepada
kolektor. Untuk kulit reptil, petani menjual kepada pedagang. Pedagang menjual
kulit kepada penyamak kulit atau eksportir. Pemburu membawa produk ular seperti
empedu dan ular hidup kepada pedagang. Pedagang memiliki hubungan khusus dengan
pemburu atau pun penyuplai untuk menjaga kesinambungan suplai di pasar. Secara
berkala pedagang mengunjungi pemburu untuk menyampaikan perkembangan pasar dan
harga-harga satwa (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Pada tahun 2007 lalulintas
ekspor impor maupun antar area reptil dan bahan asal hewan (reptil) sangat
tinggi frekuensi dan volumenya (Tabel 1).
Tabel 1. Lalulintas
reptil dan kulit reptil selama tahun 2007 (Barantan 2008)
No.
|
Jenis lalulintas
|
Reptil
|
Kulit Reptil
|
||
Volume
|
Frekuensi
|
Volume
|
Frekuensi
|
||
1
|
Impor
|
5.198
|
24
|
-
|
-
|
2
|
Ekspor
|
136.464
|
296
|
36.788,45
|
67
|
3
|
Domestik masuk
|
5.150
|
25
|
3.160
|
24
|
4
|
Domestik keluar
|
1.345.320
|
491
|
4.416
|
26
|
Perdagangan
reptil dilakukan dalam jumlah yang besar dengan nilai yang sangat komersil.
Direktorat Jendral PHKA, sampai tahun 1999 telah mencatat 161 spesies reptil
diperdagangkan ke luar negeri. Sejumlah 54 spesies atau 33.5% diantaranya
diperdagangkan dalam bentuk kulit, daging dan produk jadi. Amerika Serikat dan
Eropa merupakan negara tujuan penjualan reptil sebagai hewan peliharaan.
Hongkong, Cina dan Taiwan merupakan negara pengimpor utama daging reptil dan
produk obat-obatan dari Indoensia (Soehartono dan Mardiastuti 2003).
Perdagangan
reptil sebagai hewan peliharaan mencapai puncaknya pada tahun 1990. Beberapa
spesies seperti biawak air asia (Varanus salvator), ular sinduk (Naja
sputatrix), ular sanca python (Python reticulatus) banyak diminati
konsumen luar negeri untuk hewan peliharaan. Namun, pada tahun yang sama, trend
ini menurun secara drastis dan memuncak lagi pada tahun 1997 dan 1999.
Sedangkan perdagangan reptil untuk konsumsi memiliki pola yang agak berbeda.
Pada tahun 1992 - 1999, perdagangan reptil untuk dikonsumsi didominasi oleh
ular sinduk. Penjualan jenis ular ini mencapai 22.74% dari total penjualan
seluruh spesies reptil atau 20.756 ekor per tahun (Soehartono dan Mardiastuti
2003). Sedangkan ular kobra (King kobra) telah diminati sejak
pertengahan tahun 1980. King kobra yang diperdagangkan mencapai 180.000
ekor per tahun berupa kulit dan 23.000 ekor berupa satwa hidup (Soehartono
1999).
Indonesia
merupakan negara pengekspor reptil terbesar di dunia. Namun Indonesia mendapat
catatan buruk dalam perdagangan karena kurang menerapkan prinsip kelestarian
dalam pemanenan reptil dari alam. Perburuan reptil terus berlangsung sepanjang
tahun. Kegiatan ini akan meningkat setelah masa tanam sampai masa panen hasil
pertanian. Tingginya permintaan terhadap produk olahan reptil juga meningkatkan
intensitas perburuan reptil di habitat aslinya. Eksploitasi yang tidak
terkendali dapat mengancam kelestarian populasi reptil (Soehartono dan
Mardiastuti 2003).
C. Pemanfaatan
Sebagai Obat dan Makanan
Ular
telah lama dimanfaatkan masyarakat kerena memiliki nilai ekonomi yang penting.
Daging dan darah ular memberi keuntungan yang tidak sedikit bagi masyarakat
yang menjalankan usaha di bidang ini. Pekerjaan berburu ular di alam menjadi
mata pencaharian tambahan bagi sebagian masyarakat di pedesaan (Soehartono
& Mardiastuti 2003).
Ular
khususnya ular kobra dipercaya untuk menyembuhkan penyakit hepatitis, asma,
eksim, kudis, memelihara kekuatan seksual sampai usia lanjut. Ular kobra juga
digunakan untuk menghentikan penyumbatan pada syaraf dan otot, sakit sendi pada
tulang, beri-beri dan rematik. Ular sanca digunakan untuk bengkak gusi, gigi
berlubang dan bernanah serta ambien bengkak. Ular weling digunakan dalam
pengobatan tradisional untuk mencegah dan menyembuhkan rematik dan penyakit
kulit seperti kusta, koreng dan kurap. Ular tanah digunakan untuk mengobati
penyakit gondok dan kejang lambung. Bagian tubuh ular yang sering digunakan
sebagai obat adalah daging, darah dan empedu. Darah ular biasanya digunakan untuk
mengobati alergi, gatal-gatal, diabetes, liver, jantung, sesak nafas, asam
urat, pinggang, rematik, darah rendah, darah tinggi. Empedu ular bisa menjadi
anti racun (anti venom) di tubuh manusia terhadap bisa ular sendiri (Nugroho et
al. 1994; Haryanto 2005).
Hampir semua bagian tubuh ular
seperti daging, darah dan empedu sangat bermanfaat. Ular dipercaya dapat
menyembuhkan gatal-gatal, lever, asma, diabetes, dan dapat meningkatkan
keperkasaan. Daging ular diyakini dapat membuat tubuh tetap hangat. Di beberapa
negara ternyata sudah banyak yang mempercayai bahwa ular memberikan manfaat
yang luar biasa untuk meyembuhkan berbagai macam penyakit seperti di Ghana,
gigi ular python yang dibakar hingga menjadi abu dan dicampur dengan jeruk
lemon diunakan untuk mengobati anak-anak yang mengalami masalah dengan
penceranaannya, dan hatinya digunakan untuk menyembuhkan kejang (Addy 2002). Di
Thailand dan Taiwan ramuan ukar seperti darahnya dicampur dengan arak diminum
untuk meningkatkan stamina dalam bekerja. Di Cina juga ular dimanfaatkan
sebagai obat alternatif dengan membuat serum yang diolah dari bisa ular.
Setelah diencerkan, serum ini dapat langsung diminum. Serum ular berkhasiat
mengobati sejumlah penyakit seperti tetanus, malaria, jantung, bahkan pada
tingkat tiga serum tersebut diyakini bisa menyembuhkan HIV/AIDS (Mahawar 2007).
Sebagian besar jenis reptil yang
dijumpai dipedagang dalam kondisi hidup (ular) karena bagian tubuh yang
dimanfaatkan berupa darah, empedu dan sumsum mengharuskan reptil dalam kondisi hidup
sebelum bagian-bagian tersebut diambil untuk dimanfaatkan. Konsumen mempercayai
bahwa ular kobra dapat menyembuhkan berbagai penyakit khususnya penyakit yang
berhubungan dengan kulit. Menurut Haryanto (2005), ular kobra dipercaya
berkhasiat meyembuhkan alergi dan penyakit yang berhubungan dengan kulit.
Sedangkan jenis ular lainnya (ular lanang sapi, ular welang, ular weling, ular
cincin emas, ular tanah dan ular koros) digunakan sebagai pelengkap ramuan
darah ular kobra. Pemanfaatan ular kobra sebagai obat tidak hanya ditemukan di
DKI Jakarta, masyarakat Jawa Tengah memanfaatkan ular kobra sebagai obat
kanker, liver, stroke, penyakit kulit (gatal, eksim, alergi), sakit pernapasan,
tekanan darah rendah, dan meningkatkan stamina. Situngkir (2009) juga melaporkan
bahwa di Bogor, Jawa Barat ular kobra selain dimanfaatkan sebagai obat penyakit
kulit (gatal-gatal) juga dimanfaatkan untuk mencegah mata cepat lelah,
menetralkan racun dalam tubuh, meningkatkan stamina dan gairah seksual. Secara
umum, khasiat masing-masing produk obat dari reptil yang dipercaya oleh
masyarakat ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Khasiat dan penggunaan produk obat dari reptil
yang diperjualbelikan di DKI Jakarta (Arisnagara
2009)
No
|
Jenis Ular
|
Produk Obat
|
Khasiat
|
Penggunaan
|
1
|
Ular Kobra, king kobra, ular sanca,
ular lanang sapi, ular welang, ular weling, ular tanah, ular koros
|
Darah, empedu, sumsum
|
Menyembhkan penyakit kulit, lemah
syahwat, kencing manis, liver, asma, penglihatan mata tidak jelas, jantung,
tekanan darah
|
Diminum
|
2
|
Ular kobra
|
Kapsul
|
Menyembuhkan gatal-gatal pada tubuh,
eksim, koreng, panu, kadas, kurap
|
Diminum
|
3
|
Ular kobra
|
Salep
|
Menyembuhkan eksim, koreng, panu,
kadas, kurap
|
Dioleskan
|
4
|
Ular kobra
|
Minyak
|
Menghaluskan kulit, menyembuhkan
luka bakar, eksim, koreng, bisul, jerawat, menghilangkan flek hitam
|
Dioleskan
|
5
|
Ular kobra, king kobra, ular sanca
|
Empedu kering
|
Mengurangi racun pada tubuh,
menyembuhkan asma
|
Diminum/
Ditelan
|
6
|
Ular kobra
|
Tangkur kering
|
Meningkatkan vitalitas/gairah sex
|
Diminum
|
7
|
Ular kobra, ular welang
|
Tepung
|
Menambah tenaga, menyembuhkan lemah
syahwat, eksim, koreng, panu, kadas, kurap, rematik, sakit pinggang
|
Dicampur bubur/sup
|
Ular juga dimanfaatkan sebagai makanan.
Di DKI Jakarta, Semarang dan Surabaya banyak pedagang kaki lima yang menjual
makanan dari reptil. Makanan yang dijual antara lain abon dan daging goreng
ular kobra (Haryanto 2005) . Zat gizi pada makanan yang diperlukan oleh tubuh
terbagi dalam enam komponen yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral dan air.
Karbohidrat berfungsi sebagai sediaan energi dan penghasil panas tubuh. Lemak
merupakan sumber cadangan energi. Protein berfungsi sebagai pertumbuhan,
pembentukan jaringan dan pemeliharaan. Mineral seperti kalsium (Ca), fosfor (P)
berfungsi sebagai pembentukan jaringan tulang dan proses metabolisme. Sedangkan
air berfungsi untuk menyediakan cairan di dalam tubuh (Harper et al.
1985). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arisnagara (2009) pemanfaatan
ular sebagai makanan di DKI Jakarta antara lain dalam bentuk sate, sop, daging
goreng, daging goreng tepung, dan abon (Tabel 3).
Tabel
3. Khasiat, pengolahan dan penggunaan bagian-bagian ular (Situngkir 2009)
No.
|
Bagian ular
|
Khasiat
|
Pengolahan
|
Penggunaan
|
1
|
Darah
|
Meningkatkan stamina, mencegah mata lelah, menetralkan
racun dalam tubuh
|
Dicampur ramuan terlebiih dahulu
|
Diminum
|
2
|
Empedu
|
Mengurangi racun pada tubuh, saraf dan menyembuhkan
lumpuh
|
Dicampur dengan darah serta ramuan lainnya
|
Diminum
|
3
|
Sumsum
|
Mengurangi racun dan memperkuat tulang
|
Dicampur dengan darah
|
Diminum
|
4
|
Daging
|
Mengurangi gatal-gatal dan meningkatkan stamina
|
Dicincang, sop, sate, abon
|
Dimakan
|
5
|
Lemak atau minyak
|
Menghilangkan gatal-gatal, menghilangkan bekas luka
baru, dan penyakit kulit lainnya
|
Dijadikan salep
|
Dioles
|
6
|
Tangkur/kelamin
|
Meningkatkan gairah sex
|
Digoreng & dicampur sayur
|
Dimakan
|
7
|
Otak
|
Menyembhkan mata rabun dan sakit kuning, penyakit dalam
seperti paru-paru
|
Dikukus atau dipanasi terlebh dahulu
|
Ditelan
|
D. PARASIT
ZOONOTIK PADA ULAR
Daging reptil, amfibi dan ikan dapat terinfeksi berbagai parasit, termasuk trematoda (Opisthorchis spp, Clonorchis
sinensis),
cestodes (Diphyllobothrium spp., Spirometra), nematoda (Gnathostoma, spp., Anisakidae), dan pentastomids
yang dapat menyebabkan zoonosis pada manusia yang mengkonsumsi daalam bentuk mentah atau tidak dimasak dengan benar. Pembekuan dan pengawetan daging lainnya, seperti penggaraman dapat mengurangi atau menghilangkan kemungkinan penularan jika dilakukan dengan benar. Pengasapan atau pengawetan tidak selalu efektif untuk menghilangkan larva infektif (Dorny et al. 2009). Cestoda, acanthocephalan, nematoda, lintah, pentastomids dan arthropoda
sering merupakan parasit yang bisa ditemukan pada reptil, beberapa diantaranya bersifat
patogen dan dapat menular ke manusia. Sparganosis dan pentastomiasis dapat menular
ke manusia melalui konsumsi daging ular (Magnino et al. 2009).
1. Sparganosis
Sparganosis
ditemukan pada tahun 1882 oleh Manson pada jaringan dari penduduk asli yang
diutopsi di Amoy RRC. Sparganosis
merupakan parasit zoonosis yang disebabkan oleh larva plerocercoid dari cacing
pita Pseudophyllidea terutama yang
berasal dari genus Spirometra seperti
Spirometra mansoni, S. ranarum, S.
mansonoides, S. erinacei. Manusia adalah host intermediate disengaja dan
cacing berkembang menjadi larva yang bermigrasi ke plerocercoid jaringan dan
menyebabkan peradangan lokal (Wongkulab et
al. 2011). Sparganosis
adalah zoonosis yang terjadi pada manusia. Penyakit ini disebabkan oleh larva
migrans cacing
pita Spirometra
. Infeksi ini dilaporkan di banyak negara
tetapi yang paling umum di Asia Timur. Migrasi terjadi di mata, jaringan
subkutan, sistem saraf pusat atau organ. Infeksi diperoleh melalui minum
terkontaminasi air atau makan daging ular (Dorny et al. 2009).
Pada
manusia, larva ditemukan diseluruh bagian badan, terutama di mata, juga
dikulit, jaringan otot, toraks, perut, paha, daerah inguinal dan dada bagian
dalam. Sparganum dapat menyebar ke seluruh jaringan. Perentangan dan pengerutan
larva menyebabkan peradangan dan edema jaringan sekitarnya yang nyeri. Larva
yang rusak menyebabkan peradangan lokal yang dapat menjadi nekrosis. Penderita
dapat menunjukkan sakit lokal, urtikaria raksasa yang timbul secara periodik,
edema dan kemerahan yang disertai dengan menggigil, demam dan hipereosinofilia.
Infeksi pada bola mata yang relatif sering terjadi di Asia Tenggara,
menyebabkan konjungtuvitis disertai bengkak dengan lakrimasi (Gandahusada et al. 2000). Menurut
Dorny et al. (2009), Sparganosis
dilaporkan di seluruh dunia, terutama Asia, khususnya di Korea, Cina, Jepang,
Taiwan, Vietnam, dan Thailand. Di Korea, 3 kasus pada manusia
dilaporkan untuk pertama kalinya pada tahun 1924, tetapi lebih dari 100 kasus kemudian dilaporkan sebelum akhir era 80-an. Kasus foodborne sparganosis telah ditelusuri dari konsumsi daging ular tetapi tidak untuk buaya, kadal atau kura-kura. Plerocercoid larva memiliki kemampuan untuk bermigrasi ke bagian manapun dari tubuh manusia termasuk otak dan rongga mulut. Analisis dari 135 kasus yang dilaporkan di Republik Korea sampai dengan tahun 1987 migrasi terjadi di perut (38 kasus, 28,1%), organ urogenital (30; 22,2%), ekstremitas (24; 17,8%), sistem saraf pusat (16, 11,9%), dada (14; 10,4%), daerah orbital (11; 8,1%) dan payudara (2; 1,5%).
dilaporkan untuk pertama kalinya pada tahun 1924, tetapi lebih dari 100 kasus kemudian dilaporkan sebelum akhir era 80-an. Kasus foodborne sparganosis telah ditelusuri dari konsumsi daging ular tetapi tidak untuk buaya, kadal atau kura-kura. Plerocercoid larva memiliki kemampuan untuk bermigrasi ke bagian manapun dari tubuh manusia termasuk otak dan rongga mulut. Analisis dari 135 kasus yang dilaporkan di Republik Korea sampai dengan tahun 1987 migrasi terjadi di perut (38 kasus, 28,1%), organ urogenital (30; 22,2%), ekstremitas (24; 17,8%), sistem saraf pusat (16, 11,9%), dada (14; 10,4%), daerah orbital (11; 8,1%) dan payudara (2; 1,5%).
Diagnosis pasti biasanya
visualisasi langsung dari parasit, dan pemeriksaan patologi biopsi jaringan.
Panjang larva adalah beberapa milimeter sampai satu sentimeter, berwarna putih seperti
pita dan keriput. Di Thailand pernah tercatat
panjang larva lebih dari 2 mm. Uji
serologis dengan antibodi monoklonal IgG dengan pemeriksaan enzyme-linked
immunosorbent (ELISA) telah dijadikan pilihan diagnosis sparganosis pada kulit dan otak (Wongkulab et al. 2010).
Masa
inkubasi sparganosis tidak didefinisikan dengan baik, dan parasit diperkirakan hidup sampai 20 tahun pada host manusia. Gejala
klinis sparganosis bervariasi sesuai dengan jaringan dan organ tempat
bermigrasi parasit. Peradangan dan nyeri dapat berkurang setelah kematian
sparganum tersebut. Ketika sparganum yang menyerang jaringan subkutan, benjolan
yang terbentuk di bawah kulit dan lesi tersebut biasanya disebut sebagai "creeping tumor" karena parasit bermigrasi ke jaringan (Dorny et al. 2009)
Menurut
Gandahusada et al.(2000) dalam tubuh
manusia sparganum dapat mengembara di otot dan fasia akan tetapi larva ini
tidak dapat menjadi dewasa. Daur hidupnya sama D. latum. Dalam hospes perantara pertama yaitu Cyclops, dibentuk proserkoid
dan dalam hospes pernatara kedua yaitu hewan pengerat kecil, ular dan kodok ditemukan
pleroserkoid atau sparganum (Gambar 1 ).
Parasit
ini ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang, Indo-Cina, Afrika,
Eropa, australia, Amerika Utara-Selatan dan Indonesia. Manusia menderita
sparganosis karena minum air yang mengandung cyclops yang infektif; makan kodok, ular atau binatang yang
mengandung pleroserkoid, dan
mempergunakan daging yang infektif sebagai obat. Di daerah yang endemik, air
minum perlu dimasak atau disaring dan daging hospes perantara harus dimasak
dengan sempurna (Gandahusada et al.
2000). Di Jepang, sashimi katak, ular, dan ayam kampung merupakan sumber utama infeksi spraganosis pada manusia. Sekitar 500 kasus telah dilaporkan di Jepang, tetapi angka realistis tentu lebih tinggi. Dalam tubuh manusia, larva biasanya muncul di bawah kulit jaringan dada anterior, dinding perut, atau daerah inguinal dan tumbuh secara lambat membentuk lesi nodular serta bermigrasi tanpa menimbulkan rasa sakit atau kemerahan. Larva terkadang bermigrasi ke bagian tubuh yang tidak terduga, seperti rongga pleura atau CNS (Nawa et al. 2005).
Spirometra
ditemukan di seluruh dunia. Infeksi di Timur Jauh disebabkan larva plerocercoid
S. mansoni, di Amerika Serikat untuk S. mansonoides, di Eropa S. europaei, di Afrika S. theileri, dan di Australia S. erinacei Di antara reptil, ular
merupakan host intermediate yang
paling penting Sebanyak 91 % dari 1240 ular yang ditangkap antara tahun 1980
dan 1988 di Prefektur Ehime, Jepang, terinfeksi dengan S. erinacei. Dalam studi lain, S.
mansoni baru ditemukan sebesar 61% dari 100 ular yang berasal dari 11
wilayah dari 13 lokasi di Korea Selatan yang diperiksa selama tahun 1981 dan
1982 (Dorny et al. 2009).
Ular juga
memainkan peran paling penting sebagai sumber infeksi terjadinya sparganosis.
Sebagian besar kasus sparganosis pada manusia merupakan foodborne setelah konsumsi daging ular yang kurang matang. Jumlah
plerocercoids yang dikumpulkan dari ular berkisar antara 0-427 per ular dengan rata-rata 12 (untuk Elaphe quadrivirgata), dan 0-130 dengan rata-rata 9 (untuk Rhabdophis tigrinus). Pembekuan daging ular mungkin akan menghancurkan plerocercoids, namun tidak ada data yang sesuai untuk pengobatan dan pencegahan sparganosis dari konsumsi daging ular (Dorny et al. 2009). Pengobatan dan pencegahan dilakukan dengan bedah dan pengambilan larva merupakan treatment terbaik. Kerusakan lebih lanjut dapat dicegah ketika larva hidup dikeluarkan dari organ vital seperti otak. Melepaskan larva yang mati dan Granuloma tidak mungkin memperbaiki defisit neurologis di kasus cerebral sparganosis. Utrasonografi mungkin bisa berguna untuk diagnosis pra-operasi payudara atau organ lainnya yang mengalami sparganosis. Penggunaan obat cacing seperti mebendazol, albendazol, dan praziquantel belum terbukti bermanfaat (Wongkulab et al. 2008; Dorny et al. 2009).
2. Pentastomiasis
Pentastomiasis, juga dikenal infestasi 'lidah cacing' atau porocephalosis, adalah parasit
zoonosis yang endemik pada Afrika
Baratdan pusat. Pada 1847, tukang kebun
merupakan manusia
pertama yang terinfeksi oleh pentastomid
di
Cairo. Host definitif adalah ular dan
reptil lainnya, sedangkan
host
intermediate
adalah mamalia karnivora dan, jarang pada manusia.
Sebagian besar kasus dari pentastomiasis manusia disebabkan oleh dua jenis pentastomids, keduanya memiliki
karakteristik dari arthropoda dan Annelida, yaitu. Armillifer armillatus dan Linguatula serrata (Plessis
et al. 2007). Pentastomids adalah seperti cacing Arthropoda, juga
dikenal sebagai 'lidah cacing', berukuran 1-10 cm panjang (Dengan perempuan
lebih besar dari laki-laki) yang tinggal di pharing-badak dan rongga sinus
ular, buaya dan berbagai karnivora liar
atau domestik (Dorny et al. 2009).
Siklus hidup
Armillifer melibatkan transmisi antara ular (host definitif) dan mangsa mereka, yaitu tikus (host intermediate). Telur mengandung
larva infektif atau nimfa adalah gudang oleh pentastomids dewasa pada saluran
pernafasan atas ular, dan disebarluaskan dalam lingkungan melalui bersin, dahak
atau, setelah menelan, melalui tinja. Setelah konsumsi oleh host intermediate,
telur menetas di dalam usus dan melepaskan nimfa. nimfa kemudian dapat melewati
dinding usus dan menyerang organ-organ perut atau dada, hati, limpa atau
paru-paru.
Manusia dapat terinfeksi pentastomids karena menelan daging mentah atau tidak cukup dimasak daging ular yang terkontaminasi dengan larva parasit, atau dengan menelan telur tertular yangmencemari karkas dari reptil yang terinfeksi, air atau makanan (Gambar 2). Pentastomiasis pada manusia biasanya disebabkan oleh spesies Armillifer (A. armillatus, A. grandis. di sub-Sahara Afrika; A. moniliformis, A. agkistrodontis di Asia) yang merupakan parasit pada ular (Dorny et al. 2009).
Manusia dapat terinfeksi pentastomids karena menelan daging mentah atau tidak cukup dimasak daging ular yang terkontaminasi dengan larva parasit, atau dengan menelan telur tertular yangmencemari karkas dari reptil yang terinfeksi, air atau makanan (Gambar 2). Pentastomiasis pada manusia biasanya disebabkan oleh spesies Armillifer (A. armillatus, A. grandis. di sub-Sahara Afrika; A. moniliformis, A. agkistrodontis di Asia) yang merupakan parasit pada ular (Dorny et al. 2009).
Pentastomids dewasa
merupakan parasit pada saluran pernapasan
atas ular, kadal dan
reptil lainnya (host
definitif). Manusia
menjadi host antara
dengan menelan ova atau larva yang
terkontaminasi makanan atau air. Transmisi dapat terjadi dari makan ular terinfeksi (melalui pernapasan, air liur atau kotoran). Infeksi A.
armillatus kebanyakan asimtomatik pada manusia oleh karena itu biasanya
ditemukan pada waktu operasi, postmortem atau dengan investigasi radiologi
(Plessis et al. 2007).
III. PERAN BADAN KARANTINA
PERTANIAN
1. Peran
Karantina Pertanian Dalam Sistem Perlindungan
Berdasarkan
UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan, karantina didefinisikan sebagai tempat pengasingan
dan atau tindakan dalam ranga upaya pencegahan masuk dan menyebarnya hama dan
penyakit untuk menjaga kelestarian
sumberdaya alam hayati hewan, ikan dan tumbuhan. Dalam UU No. 16 tahun
1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan sebagai dasar hukum
penyelenggaraan karantina diamanahkan bahwa perlunya kekayaan tanah air dan
wilayah Negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam hayati untuk dijaga,
dilindungi dan di pelihara kelestariannya dari ancaman dan gangguan Hama
Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Ancaman kelestarian dan keamanan hayati akan
menimbulkan dampak yang sangat luas pada stabilitas ekonomi, keberhasilan usaha
agribisnis dan kestabilan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian Pemerintah
Indonesia telah menetapkan pilihan bahwa salah satu strategi didalam melidungi
kelestarian sumberdata alam hayati hewan dan tumbuhan adalah melalui
penyelenggaraan perkarantinaan Hewan dan Tumbuhan. Ruang lingkup objek yang
berkaitan dengan karantina berkaian dengan orang, alat angkkut dalam
perhubungan, hewan dan produk hewan, barang-barang perdagangan lainnya yang
dilalulintaskan, diletakkan pada prinsip bahwa segala sesuati yang ditetapkan
berdasarkan penilian risiko dapat ditetpakan menjadi media pembawa hama dan
penyakit hewan (Barantan 2010).
Perkarantinaan
diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian sumberdaya alam hayati hewan. Hal
ini mengandung arti bahwa segala tindakan karantina yang dilakukan semata-mata
ditujukan untuk melindungi kelestarian sumberdaya alam hayati hewani dari
serangan penyakit hewan karantina. Ancaman yang secara global telah
diidentifikasi dapat dikendalikan efektif melalui penyelenggaraan perkarantinaan
antara lain adalah anacaman terhadap kesehatan hewan, invassive species, penyakit zoonosis, bioterorisme, pagan yang
tidak sehat termasuk GMO yang belum dapat diidentifikasi keamanannya,
kelestarian plasma nutfah/keanekaragaman hayati, hambatan teknis erdagangan dan
ancaman terhadap kestabilan perekonomian nasional. Ancaman-ancaman tersebut
dapat juga dikelola dengan baik agar tidak masuk danmenyebab kedalam negeri
melalui pemeriksaaan dan sertifikasi karantina (Barantan 2010).
Penyakit
hewan yang dapat menular pada reptile ke manusia antara laian adalah
Salmonellosis khususnya Salmonella enteritidis. Untuk importasi
reptil harus bebas dari
penyakit-penyakit sebagai berikut: Inclusion
Body Disease (IBD), Ophidian Paramyxovirus (OPMV), Protozoa (Cryptosporidiasis, Cryptosporidium serpentis), Nematodes (Ascarids Ophidascaris sp), Hookworms (Kalicephalus sp), Lungworm (Rhabdias
sp), Ectoparasites kutu (Ophionyssus natricis, Hyalomma, Aponomma),
Pentastomids dan “ulcerative stomatitis”
yang disebabkan oleh Aeromonas dan atau Pseudomonas. Penyakit-penyakit ini jika
menyebar dapat berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi. Untuk mencegah masuk,
keluar dan tersebarnya HPHK yang dibawa oleh reptil dan amfibi maka, diperlukan
instalasi karantina hewan (IKH) terhadap reptil dan amfibi tersebut. IKH
merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung
yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. IKH harus
memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, system drainase,
kelengkapan sarana dan prasarana (Barantan 2008).
Tindakan karantina merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mencegah hama penyakit hewan karantina masuk, tersebar, dan
atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan karantina meliputi
tindakan 8 P yang terdiri dari pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan,
penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Tindakan karantina tersebut
dilakukan oleh petugas karantina ditempat pemasukan dan atau pengeluaran, baik
di dalam maupun di luar instalasi karantina.
Setiap media pembawa hama dari penyakit hewan karantina yang dimasukkan
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat
kesehatan dari negara asal dan negara transit bagi hewan bahan asal hewan,
hasil bahan asal hewan melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan,
dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat pemasukan
untuk keperluan tindakan karantina (Deptan 1992).
Pemeriksaan
dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi
hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa,
atau kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut. Pemeriksaan
kesehatan atau sanitasi media pembawa sebagaimana dilakukan secara fisik dengan
cara pemeriksaan klinis pada hewan atau pemeriksaan kemurnian atau keutuhan
secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda
lain. Pemeriksaan dapat dikukuhkan diagnosanya dengan pemeriksaan laboratorium, patologi, uji
biologis, uji diagnostika, atau teknik dan metoda pemeriksaan lainnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi (Deptan 2000).
Tindakan
pembebasan terhadap reptil dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat pelepasan setelah dilakukan
pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan
pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina,
setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan
karantina, atau setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan
dapat dipenuhi. Pembebasan terhadap reptil yang akan dikeluarkan dari dalam
atau dikeluarkan dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia, dan diberikan sertifikat kesehatan apabila setelah dilakukan
pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan
pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina,
setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan
karantina atau setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan
dapat dipenuhi (Deptan 2000).
Instalasi
Karantina Hewan (IKH) merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan lahan
serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan
karantina. IKH harus memenuhi persyaratan teknis baik
bangunan/kontruksi, peralatan maupun sarana dan prasarana dengan memperhatikan prinsip
higiene dan sanitasi. IKH yang akan dipergunakan untuk reptil harus dilakukan
penilaian IKH terlebih dahulu oleh tim studi kelayakan yang ditunjuk oleh
Kepala Badan Karantina Pertanian. Penilaian tersebut meliputi: 1) pemeriksaan
terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen yang dipersyaratkan 2) melakukan
klarifikasi dokumen, data dan informasi IKH yang diajukan oleh pihak ketiga.
Bangunan dan kelengkapan IKH milik swasta harus memenuhi persyaratan teknis dan
juga dilakukan evaluasi secara berkala atau penilaian kelayakan terhadap
kondisi IKH tersebut dalam rangka pemeliharaan, sehingga memenuhi persyaratan
teknis sesuai ketentuan yang ditetapkan. Instalasi Karantina Hewan Untuk
Reptil ini disusun untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan tindakan
karantina terhadap hewan dan produk hewan. Untuk mencegah masuk/tersebarnya
hama penyakit hewan karantina (HPHK) melalui media pembawa HPHK yang
dilalulintaskan (Barantan 2010).
Peraturan
Pemerintah dan kebijakan pemerintah ini ditujukan antara lain untuk melindungi konsumen dari bahaya yang
dapat mengganggu kesehatan (foodborne
disease) akibat menggunakan baik untuk dipakai atau dimakan bahan makanan
asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman baik masyarakat dari
kemungkinan-kemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya berasal dari
kerugian-kerugian sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan
asal hewan yang diproduksi. Pada saat ini ancaman yang dapat mengganggu
kelestarian sumberdaya alam, ketentraman dan kesehatan masyarakat, kesehatan
pangan, gangguan terhadap produksi sektor pertanian serta lingkungan. Dengan
demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya tindakan karantina dalam
menunjang kesehatan masyarakat veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan
secara tidak langsung mempengaruhi aspek ekonomi serta untuk melindungi kelestarian sumber daya alam hayati hewan
(Barantan 2010).
Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah suatu konvensi
internasional mengenai perdagangan satwa dan tumbuhan liar. CITES bertujuan
sebagai alat kontrol terhadap perdagangan tersebut. CITES berfungsi sebagai
pengendali terhadap kepunahan suatu jenis. Indonesia menganggap bahwa CITES
merupakan alat yang cocok dan sangat penting untuk mengontrol dan mengatur
perdagangan jenis yang terancam punah. Indonesia turut serta dalam konvensi
CITES sejak tahun 1978. Pengelolaan CITES di Indonesia dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen
Kehutanan sebagai Management Authority dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) sebagai Scientific Authority (Soehartono &
Mardiastuti 2003).
Selain CITES, status perlindungan
satwa juga didasarkan pada International Union for Conservation of Nature
and Natural Resources ( IUCN). IUCN merupakan organisasi internasional yang
bergerak di bidang konservasi sumber daya alam. IUCN didirikan pada 1948 dan
berpusat di Gland, Switzerland. IUCN membagi status perlindungan satwa menjadi
lima kategori yakni 1) Critically Endangered atau kritis (taksa tersebut
menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat), 2) Endangered
atau genting (taksa tersebut tidak tergolong kritis, namun mengalami resiko
kepunahan yang sangat tinggi di alam), 3) Vulnerable atau rentan (taksa
tersebut tidak tergolong kritis maupun genting, namun mengalami resiko
kepunahan yang sangat tinggi di alam), 4) Lower Risk atau resiko rendah
(taksa tersebut telah dilakukan evaluasi namun tidak memenuhi untuk digolongkan
ke dalam kategori kritis, genting, maupun rentan) dan 5) Data Deficient atau
kurang data (informasi yang tersedia tidak mencukupi untuk melakukan perkiraan)
(Dephut 2008).
Perlindungan satwa liar di Indonesia
memperoleh perhatian dari pemerintah Indonesia. Bentuk perhatian pemerintah
tertuang dalam naskah perundangan, peraturan tingkat nasional dan daerah. Akan
tetapi, kebijakan pemerintah tersebut belum menjamin perlindungan satwa liar.
Perdagangan ilegal satwa liar di dalam negeri maupun perdagangan internasional
masih sering terjadi. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa terdapat 31
jenis reptil (tuntong Batagur baska, penyu tempayan Caretta caretta, kura-kura
irian Carettochelys insculpta, kura irian leher panjang Chelodinanovaeguineae,
penyu hijau Chelonia mydas, labi-labi besar Chitra indica,
soa paying Chlamydosaurus kingie, sanca hijau Chondropython viridis,
buaya air tawar Irian Crocodylus novaeguineae, buaya muara Crocodylus
porosus, buaya siam Crocodylus siamensis, penyu belimbing Dermochelys
coriacea, kura irian leher pendek Elseya novaeguineae, penyu sisik Eretmochelys
imbricate, bunglon sisir Gonychephalus dilophus, soa-soa Hydrasaurus
amboinensis. penyu ridel Lepidochelys olivacea, penyu pipih Natator
depressa, kura-kura gading Orlitia borneensis, sanca bodo Python
molurus, sanca timor Phyton timorensis, kadal panan Tiliqua gigas,
buaya sapit Tomistoma schlegelii, biawak kalimantan Varanus
borneensis, biawak coklat Varanus gouldi, biawak maluku Varanus
indicus, biawak komodo Varanus komodoensis, biawak abu-abu Varanus
nebulosus, biawak hijau Varanus prasinus, biawak timor Varanus
timorensis, biawak togian Varanus togianus) yang dilindungi
(Arisnagara 2009).
2. Peran
Karantina Dalam Perdagangan Internasional
Perdagangan
internasional diatur oleh organisasi perdagangan dunia yang disebut World Trade
Organization (WTO), dalam implementasinya organsasi tersebut menerbitkan
berbagai perjanjian yang berkaitan dengan pengaturan dan prosedur dibidang
perdagangan internasional. Beberapa perjanjian
yang telah diterbitkan antara lain General
Agreement on Traiff and Trade, Agreement on Trade Related Aspects of
Intelectual Property Rights (TRIPS), dan Agreement on Aplication of Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS).
SPS-Agreement atau perjanjian SPS
diberlakukan untuk mengatur tatacara perlindungan terhadap kesehatan manusia,
hewan dan tumbuhan serta lingkungan hidupnya dalam hubungannya dengan
perdagangan internasional. Kesepakatan SPS beralku dan mengikat secara global
seluruh negara yang menjadi anggotanya (Barantan 2010).
Negara
Indonesia merupakan salah satu negara WTO, yang telah menyepakati piagam
berdirimya oganisasi tersebut dan diratifikasi melalui Undang-Undanf Nomor 7
Tahun 1994. Oleh karena itu Negara Indonesia berkewajiban memenuhi kesepakatan
Internasional tersebut. Dasar hukum penyelenggaraan karantina hewan, ikan dan
tumbuhan yaitu Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 dalam uraian penjelasannya
telah mengamanatkan bahwa penyelanggaraan perkarantinaan merupakan wujud dari
pelaksanaan kewajiban internasional. Sesuai dengan implementasi perjanjian SPS
dalam perdagangan internasional maka peran Barantan adalah mengoperasionalkan
persyaratan teknis (persyaratan karantina) impor yang diterapkan ditempat
pemasukan dalam upaya perlindungan terhadap kesehatan manusa, hewan, tumbuhan
dan lingkungan; memfasilitasi ekspor komoditas pertanian melaui pemeriksaan,
audit, verifikasi dan sertifikasi karantina ekspor agar persyaratan teknis yang
ditentukan negara pengimpor dapat terpenuhi; turut serta memverifikasi persyaratan
teknis negara tujuan ekspor agar tetap dalam koridor perjanjian SPS; dan
Barantan ditetapkan sebagai “Notification Body” dan “National enquery Point” SPS, peran
tersebut merupakan salah satu bentuk dari komunikasi persyaratan teknis (dengan
organisasi internasional dan negara mitra) yang akan diberlakukan (Barantan
2010).
Fungsi
utama Departemen Pertanian yang diperankan Badan Karantina Pertanian adalah
berhubungan dengan menjamin tersedianya sumberdaya pertanian yang berkelanjutan
dalam menjamin tersedianya suplay yang cukup, serta jaminan keamanan pangan
yang berkaitan dengan kualitas suplay pangan yang sehat dan ketentraman
masyarakat dalam mengkonsumsi pangan halal, melalui kegiatan pengawasan dan
sertifikasi impor dan ekspor, verifikasi dan audit kesesuaian persyaratan
teknis. Penetapan kawasan/area dan sertifikasi karantina antar area juga
dierankan Karantina Pertanian dalam rangka memenuhi daya saing pasar
internasional. Ketiga peran tersebut diatas pada prinsipnya merupakan satu
kesatuan peran dari penyelenggaraan karantina pertanian dan pengawasan keamanan
hayati sebagaimana tugas dan pokok Badan Karantina Pertanian. Oleh karena itu,
dengan peran yang startegis tersebut maka setiap instansi terkait dan
masyarakat perlu memberikan dukungan yang memadai dalam pencapaian visi, misi
dan tujuan strategis Barantan (Barantan 2010).
IV. KESIMPULAN
Pemanfaatan ular sebagai bahan makanan
dan obat-obatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai risiko
sangat tinggi terhadap ancaman penularan penyakit zoonosis (Foodborne). Pengawasan terutama dalam
pengolahan dan penggunaannya. Perdagangan dan lalu lintas reptil terutama ular
harus selalu diawasi dan memperhatikan aturan yang berlaku untuk kelestarian
sumberdaya alam, ketentraman dan kesehatan masyarakat, kesehatan pangan,
gangguan terhadap produksi sektor pertanian serta lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
- Addy GC. 2002. The economic benefits of biodiversity. The Ghanaian Times. Acra.
- Arisnagara F. 2009. Pemanfaatan Reptil Sebagai Obat dan Makanan Di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
- [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2008. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 369.a /kpts/PD.670.210/L/10/2008 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Reptil Dan Amfibi (Herpetofauna). Jakarta : Barantan.
- [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2008. Laporan Tahunan Badan Karantina pertanian Tahun 2007. Jakarta : Barantan.
- [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2010. Rencana Strategis Badan Karantina Pertanian Tahun 2010 – 2014. Jakarta : Barantan.
- [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan No P. 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Jakarta : Departemen Kehutanan.
- [Deptan] Departemen Pertanian. 1992. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Jakarta : Deptan.
- [Deptan] Departemen Pertanian. 2000. Pertaturqn Pemerintah Tahun 2000 tentang Karantina Hewan. Jakarta : Deptan.
- Dorny P, Praet N, Deckers N, Gabriel S. 2009. Emerging food-borne parasites. J Veterinary Parasitology 163 : 196–206
- Djarubito M. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta : Erlangga.
- Duellman We, Heatwole H. 1998. Di dalam : Cogger HG, RG Zweifel, editor. Encyclopedia of reptiles and Ampibians. San Fransiso : Fog City Press Ensikloped.
- Gandahusada S, Iiahude HD, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Halliday T, Adler K. 2000. The encyclopedia of repttiles and amphibians. New York : Fact on File Inc.
- Haryanto S. 2005. 30 Jenis Hewan Penakluk Penyakit. Jakarta : Penebar Swadaya.
- Harper LJ, Deaton BJ, dan Priskel JA. 1985. Pangan dan Gizi Pertanian. Suhardjo, penerjemah ; Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : Food, Nutrition and Agriculture.
- Mahawar MM, Jaroli DP. 2007. Traditional knowledge on zootherapeuthic uses by the saharia Tribe of Rajasthan, India. Journal of ethnobiologi and ethnomedicine 3 : 25.
- Magnino S, Pierre Colin, Eduardo Dei-Cas, Mogens Madsen, Jim McLauchlin, Karsten Nöckler, Miguel Prieto Maradona, Eirini Tsigarida, Emmanuel Vanopdenbosch, Carlos Van Peteghem. 2009. Biological risks associated with consumption of reptile products. International Journal of Food Microbiology 134 : 163–175.
- Nawa Y, Christoph Hatz, and Johannes Blum. 2005. Sushi Delights and Parasites: The Risk of Fishborne and Foodborne Parasitic Zoonoses in Asia. Clinical Infectious Diseases 41:1297–303.
- Nugroho E, Whendrato I, Madyana IM dan Kusumo E. 1994. Satwa Berkhasiat Pengobatan. Semarang. Eka Offset.
- Plessis V, Andrew J Birnie, Ivor Eloff, Helmuth Reuter, Savvas Andronikou. 2007. Pentastomiasis (Armillifer armillatus infestation). SAMJ 97 : 928 – 930
- Primack, Richard B, Supriatna J, Indrawan M dan Kramadibrata P. 1998. Biology Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
- Situngkir SVR. 2009. Perdagangan Ular dan Pemanfaatannya Secara Tradisional Di Wilayah Bogor [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
- Soehartono T. 1999. Perdagangan Ular kobra (Naja naja sputataix). Di dalam : Konservasi Keanekaragaman Amfibia dan Reptilia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional ; Bogor, 4 November 199. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hlm 106-113.
- Soehartono T dan Mardiastuti. 2003. Pelaksanan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta. Japan International Cooperation Agency (JIC)
- Wongkulab P, Kom Sukontason, Romanee Chaiwarith. 2011. Sparganosis: A Brief Review. J Infect Dis Antimicrob Agents 28 : 77 – 80.
*********